Jakarta – Sejumlah industri secara tegas menolak kebijakan PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN) yang memberlakukan pembatasan pemakaian gas maksimum sebesar 67%.
Kebijakan tersebut tertuang pada Surat Pertamina Gas Negara No. 416100.S/PP.03/RD1TGR/2023. Berdasarkan isi surat edaran tersebut, PGN meminta kepada para pelanggan untuk mengendalikan pemakaian gas sebesar 67% dari pemakaian maksimum per bulan kontrak.
Upaya ini sebagai pengamanan penyaluran gas ke lokasi pengguna, sehubungan dengan terjadinya ‘Natural Decline’ di salah satu pasokan gas Medco E & P Grisik Ltd., Sumatera.
Selain itu, dalam surat edaran tersebut juga menyebutkan bahwa apabila terdapat pemakaian gas melebihi pemakaian maksimum kuota kontrak harian berlaku ketentuan ‘Over Usage Penalty’ harian.
Disisi lain, dalam surat edaran tersebut, PGN meminta pelanggan yang menggunakan sistem ‘dual fuel’ untuk mempersiapkan bahan bakar lainnya sebagai energi pengganti.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh PGN, aturan tersebut akan diterapkan mulai dari tanggal 1 Oktober hingga 31 Oktober 2023.
Kebijakan tersebut mendapat penolakan keras dari sejumlah industri pengguna gas bumi. Pasalnya, pembatasan kuota pasokan gas 67% akan memicu deisdustrialisasi.
“Pembatasan kuota pasokan gas 67% akan memicu deisdustrialisasi dan menjadi bencana besar bagi industri nasional,” kata Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan di Jakarta, kemarin.
Menurut Yustinus, alasan natural decline yang disanggahkan oleh PGN itu sangat mengherankan. Dirinya juga menyayangkan himbauan PGN yang menghimbau para industri pengguna gas bumi mempersiapkan bahan bakar lain sebagai energi pengganti.
“Penggunaan bahan bakar sebagai energi pengganti justru akan memicu peningkatan polusi udara,” terang Yustinus.
Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI) Henry Susanto menyebut bahwa pembatasan kuota gas maksimum 67% hanya merupakan ‘siasat’ dari PGN.
“Menurut kami ini hanya akal-akalan dari PGN agar harga naik. Dengan hanya memberikan 67% kebutuhan, sisanya terpaksa memakai gas dengan harga tinggi yang terkena pinalti,” terang Henry.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyampaikan, penerapan kuota harian HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) tersebut akan menurunkan daya saing industri, terlebih bagi perusahaan yang belum menerima HGBT, sehingga akan semakin sulit bersaing baik di pasar domestik terlebih di pasar ekspor.
Oleh karena itu, APSyFI meminta pemerintah untuk tidak menerapkan kuota harian gas sebesar 67%, dan menolak implementasi kebijakan yang tertuang pada Surat Pertamina Gas Negara No. 416100.S/PP.03/RD1TGR/2023.
Desakan penolakan juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto.
Dikatakan Edy, pihaknya merasa keberatan dengan kebijakan yang mendadak oleh PGN yang membatasi pemakaian gas maksimal 67% dari kontrak Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan PGN yang dihitung berdasarkan pemakaian gas dan selebihnya dikenakan ‘surcharge’ harian sebesar 250% dari harga gas USD 6,5/MMBTU.
“Ini sebagai upaya terselubung untuk memaksakan kenaikan harga gas kepada industri,” kata Edy.
Dengan kebijakan tersebut, jelas Edy, memaksa anggota Asaki yang menggunakan volume gas normal sesuai besaran kontrak harus membayar rata-rata sekitar USD 9,12/MMBTU.
Menurutnya, kebijakan PGN yang kurang transparan berkaitan masalah gangguan pasokan gas bumi dari hulu dan ketidakstabilan pasokan gas yang telah berlangsung cukup lama ini sangat menganggu daya saing industri keramik nasional, dan tentunya juga melanggar norma keadilan bagi pelanggan industri keramik nasional.
Untuk itu, Asaki mengharapkan perhatian dan dukungan dari pemerintah dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian ESDM menyangkut daya saing dan ketahanan industri keramik, terlebih menyangkut nasib lebih dari 150.000 tenaga kerja.
“Asaki mengharapkan adanya campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup industri keramik nasional, karena kenaikan harga gas tersebut dipastikan akan memicu deindustrialisasi dan terjadi PHK tenaga kerja,” tutup Edy.