Jakarta – Kalangan pertekstilan nasional menuding bahwa kinerja buruk dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan adalah salah satu penyebab utama badai PHK dan penutupan sejumlah Perusahaan dalam 2 tahun terakhir.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa hal ini dapat terlihat jelas dari data trade map dimana gap impor yang tidak tercatat dari China terus meningkat USD 2,7 miliar ditahun 2021 menjadi USD 2,9 Miliar di tahun 2022 dan diperkirakan mencapai USD 4 miliar ditahun 2023.
Hal ini diungkapkan Redma untuk menanggapi Menteri Keuangan RI yang sebelumnya menyatakan bahwa penyebab PHK adalah praktik dumping diluar negeri.
Redma menanggapi bahwa pernyataan Sri Mulyani sebagai upaya pengalihan isu dan untuk menutupi kegagalannya dalam membersihkan DitJen Bea Cukai.
“Kita bisa liat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau dipelabuhan,” jelas Redma.
Yang terbaru kita bisa lihat drama dilakukan oleh Bea Cukai bersama para relasi mafia impornya membuat penumpukan kontainer dipelabuhan hingga memaksa pemerintah melakukan relaksasi impor melalui Permendag 8 2024.
“Dan disini malah terkesan Bu Sri membela Bea Cukai dan menyalahkan Kementerian lain yang mengeluarkan aturan pengendalian impor, padahal ini adalah perintah Presiden tanggal 6 Oktober 2023,” tambahnya.
Redma menyatakan bahwa mafia impor yang melibatkan para oknum di bea Cukai ini sudah merambah berbagai level, mulai dari pejabat dipusat yang bertugas mengamankan dari sisi kebijakan hingga pejabat daerah dan para petugas dilapangan sebagai eksekutornya.
“Makanya segala upaya usulan perbaikan sistim ditolak mentah-mentah. Sistim pemeriksaan Bea Cukai kita ketinggalan jauh dibanding Thailand, Malaysia dan Singapura yang menerapkan sistim IT, AI Scanner,” tambahnya.
Namun Redma tidak menampik seluruh statement Sri Mulyani, pihaknya mengakui bahwa memang ada praktik dumping yang dilakukan oleh China karena kondisi disana oversupply yang sangat besar.
“Tapi aneh juga, sudah tahu ada dumping tapi perpanjangan safeguard tekstil yang sudah direkomendasi Menteri Perdagangan malah mandeg dimeja Bu Sri lebih dari satu tahun. Tapi kita tunggu apa yang akan dilakukan Bu Sri dalam menghadapi badai PHK disektor ini, karena dalam 2 tahun terakhir sudah 3 surat dilayangkan API dan APSyFI untuk bertemu Menkeu dan DirJen Bea Cukai, sama sekali tidak ada respon,” paparnya.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman menyatakan bahwa banjir impor dalam 2 tahun terakhir sangat keterlaluan hingga 60% anggotanya yang merupakan industri kecil menengah sudah tidak lagi beroperasi, sedangkan sisanya hanya jalan dibawah 50%.
“Pasar dalam negeri kita baik offline maupun online disikat semua oleh produk impor yang harganya tidak masuk akal,” ungkap Nandi.
Pihaknya sangat yakin bahwa barang impor tersebut masuk dengan cara illegal, karena harganya sangat murah, bahkan dijual dibawah harga bahan bakunya.
“Kalau impor garmen resmi kan ada PPN, bea masuk plus bea safeguard-nya, jadi tidak mungkin per potongnya dijual di bawah harga Rp 50.000,-,“ jelasnya.
Dengan harga yang sangat murah ini, para pengusaha baik IKM maupun perusahaan besar tidak akan tak kuat menghadapi persaingan dengan produk-produk impor. Untuk itu tidak heran kalau banyak Perusahaan dari yang kecil sampai yang besar, dari hulu sampai hilir malaukan PHK bahkan menutup pabriknya.
Ia berharap pengusaha IKM tekstil mendapatkan ruang lebih besar di pasar dalam negerinya sendiri. Sebab ia menilai daya beli di Indonesia masih besar ditambah inflasi yang masih relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
“Saya yakin kalau pasar domestiknya dijaga, setidaknya 70 persen pasarnya dikuasai pasar lokal, maka IKM Indonesia akan maju,” ucap Nandi.