Jurnalindustry.com – Jakarta – Trend PHK dan penutupan pabrik di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) masih terus berlanjut sebagai akibat dari marak impor illegal yang membanjiri pasar domestik.
Koordinator Aliansi Masyarakat Tekstil Indonesia (AMTI), Agus Riyanto menyatakan bahwa hingga saat ini praktik importasi borongan masih terus terjadi tanpa ada perintah pelarangan dari para petinggi Kementerian Keuangan.
“Mereka seperti merestui praktik importasi ilegal ini,” ungkap Agus.
Sebelumnya, data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebutkan bahwa dibulan Juli sekitar 700 karyawan di Jawa Tengah dan dibulan Agustus 500 orang karyawan lagi di Jawa Barat yang di-PHK.
Kedua perusahaan itu sekalian menutup pabriknya karena jumlah ini merupakan sisanya, karena sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024 mereka telah mem-PHK sejumlah karyawannya.
Kondisi ini menggenapi ratusan ribu karyawan yang di-PHK dan puluhan pabrik yang tutup dalam 2 tahun terakhir.
Lebih lanjut Agus mengungkapkan bahwa meskipun pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah
membentuk SATGAS, namun kondisi industri bahkan semakin buruk karena wilayah kerja SATGAS yang terbatas dipasar dalam negeri.
“Padahal kita semua sangat paham bahwa permasalahan utamanya ada di Pelabuhan, dimana Bea Cukai terus membuka pintu bagi praktik importasi illegal, dan hingga saat ini sepertinya tidak ada niatan dari Menteri Keuangan untuk mengatasi permasalahan,” tutur Agus.
Atas kinerja buruk DitJen Bea Cukai ini, pihaknya mendesak Presiden Jokowi untuk mereshuffle Menteri
Keuangan dan Ditjen Bea Cukai.
“Hal ini sangat mendesak, kami menghindari keterpurukan yang lebih dalam lagi dalam 3 bulan kedepan sebelum pemerintahan baru dimulai,” tegasnya.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya, Nandi Herdiaman menyatakan bahwa kondisi IKM masih terpuruk meskipun dibulan Juni ada sedikit order dari konsumsi seragam.
“Kami masih sangat mengharapkan belas kasihan dari pemerintah untuk menolong kami” ungkap Nandi.
“Disini kami mengemis keadilan Menteri Keuangan untuk segera melarang praktik impor borongan,” tegasnya.
Nandi kembali menuturkan bahwa mereka siap bersaing secara fair dengan barang-barang impor, asal sama-sama memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Kenapa Menteri Keuangan tega menindas kami yang sudah patuhi ketentuan perpajakan, malah barang impor yang masuk lewat borongan melenggang tanpa bayar bea masuk dan pajak yang seharusnya,” cetus Nandi.
Ditempat lain, Ketua Komite Tetap Industri Manufaktur Bidang Asosiasi dan Himpunan KADIN Indonesia, Redma Gita Wirawasta menyatakan bahwa permasalahan importasi ilegal ini terjadi juga di sektor lain seperti elektronik, alas kaki, komponen otomotif, besi baja, mainan hingga peralatan rumah tangga lainnya sehingga memukul kinerja industri manufaktur.
“Kita lihat dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan industri selalu dibawah PDB dengan kontribusi yang hanya disekitar 16%,” kata Redma.
Redma menambahkan bahwa kinerja buruk bea cukai ini menjadi faktor utama turunnya penerimaan pajak dari sektor manufaktur hingga 13,8% per Juli 2024 sebagai implikasi pertumbuhan industri manufaktur yang hanya 3,95% di kuartal 2.
“Permasalahan melebar pada turunnya iuran BPJS sebagai dampak PHK dan turunnya konsumsi tenaga listrik, padahal sektor industri manufaktur berkontribusi diatas 35% dari pendapatan PLN hingga pada pelemahan daya beli masyarakat,” ujar Redma.
“Jadi implikasi kinerja buruk bea cukai terhadap perekonomian sangat besar dan signifikan, ini harusnya jadi perhatian Bu Menteri,” pungkasnya.