Jakarta – Kekhawatiran akan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia sepatutnya dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor industri pengolahan mampu berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi perekonomian nasional.
“Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak menjadikan industri manufaktur menjadi kuat. Ada unsur yang mesti menjadi pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus industri manufaktur, yaitu kemandirian,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (17/8/2021).
Menurut Agus, pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat kita lupa bahwa struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya luar (impor).
Ini tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak tahun 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan penolong dan barang modal.
Agus mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 membuka mata kita untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur Indonesia.
Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap impor bahan baku termasuk jenis obat untuk terapi Covid-19 ditambah dengan faktor panic buying oleh masyarakat- membuat obat terapi Covid-19 sempat menjadi barang langka dan berharga mahal.
“Kita mesti bersaing dalam impor bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama membutuhkan.
Dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia semestinya bisa mengembangkan industri yang kuat di sektor farmasi dan alat kesehatan,” terangnya.
“Kita mampu untuk itu. Kita sudah mengembangkan dan memproduksi beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa negara di Eropa,” sambung Agus.
Selain itu, lanjit Agus, industri dalam negeri juga sudah mampu membuat ventilator dan generator/konsentrator oksigen dalam negeri.
“Prototipenya sudah ada dan kini tengah menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal. Jika alat-alat kesehatan tersebut sudah bisa diproduksi, maka kemandirian industri alat kesehatan dan sektor kesehatan kita akan semakin kuat,” papar Menperin.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor sekaligus mendorong penguatan struktur industri manufaktur, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengeluarkan kebijakan Substitusi Impor 35% pada tahun 2022 dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada tahun 2019 seperti mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan bahan dari karet.
Strategi yang ditempuh adalah dengan menurunkan impor guna merangsang pertumbuhan industri substitusi impor dalam negeri, peningkatan utilitas industri domestik, dan peningkatan investasi untuk produksi barang-barang substitusi impor.
Strategi lain adalah optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui penetapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen.
Penetapan TKDN dimaksudkan untuk mendorong agar semua produk yang dihasilkan industri dalam negeri dapat diserap dalam proyek pengadaan barang/jasa di dalam negeri, baik melalui APBN maupun anggaran BUMN/ BUMD.
Kebijakan ini merupakan wujud keberpihakan terhadap produk dalam negeri dan langkah pengawalan terhadap keberlangsungan industri dalam negeri.
“Semua negara pasti menggunakan berbagai instrumen untuk melindungi industrinya, membentengi sektor produksinya, serta menjaga tenaga kerja dan warganya. Keberpihakan dan dukungan pengamanan ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global. Jika tidak, impor semakin akan merajalela dan industri dalam negeri tidak akan pernah bisa berdaulat di wilayahnya sendiri,” tutup Menperin Agus.