Jurnalindustry.com – Jakarta – Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengapresiasi langkah tegas perihal Pembatasan Impor produk keramik yang dibahas dalam Rapat Terbatas (Ratas) di Istana Presiden Jakarta, kemarin.
“Pembahasan Ratas terkait produk impor tersebut menjadi angin perubahan yang membawa optimisme baru dan keberpihakan serta kehadiran pemerintah terhadap industri keramik nasional setelah beberapa tahun terakhir babak belur digempur produk impor dari Tiongkok,” kata Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto di Jakarta, kemarin.
Asaki juga mengapresiasi dan mendukung penuh usulan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita agar regulasi terkait impor yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Pemendag) Nomor 8 Tahun 2024 agat ditinjau ulag dan direvisi.
“Semangat keberpihakan dalam rangka penguatan dan perlindungan terhadap industri keramik dalam negeri juga ditunjukkan oleh beliau (Menperin Agus) melalui Permenperin SNI Wajib untuk keramik,” tambahnya.
Selain itu, Asaki juga mengapresiasi kolaborasi yang luar biasa dari Menperin dan Menteri Perdagangan (Mendag) yang mana dalam waktu dekat akan mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk keramik impor dari Tiongkok.
“Semoga semangat keberpihakan terhadap industri keramik dalam negeri tersebut juga mendapatkan atensi dan dukungan penuh dari Menteri Keuangan (Menkeu) dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang cepat setelah mendapatkan usulan BMAD & BMTP untuk produk keramik,” jelas Edy.
Selama ini, terang Edy, praktek unfair business trade telah memukul industri keramik nasional. Adapun, unfair trade yang telah terbukti berupa subsidi pemerintah Tiongkok, praktek dumping akibat overcapacity dan oversupply produk keramik Tiongkok.
Selanjutnya, pengalihan pasar ekspor utama Tiongkok yang selama ini ditujukan untuk negara Uni Eropa, Timur Tengah, USA dan Amerika Utara telah dialihkan ke Indonesia pasca negara-negara tersebut menerapkan antidumping terhadap produk dari Tiongkok.
“Selain itu para importir juga menerapkan Predatory Pricing di mana sengaja menjual produk import jauh dibawah biaya produksi keramik nasional,” tegasnya.
Dampak kerugian terhadap industri keramik nasional jelas terbukti dengan penurunan tingkat utilisasi produksi, serta defisit transaksi ekspor impor produk keramik senilai lebih dari USD 1,3 miliar dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
“Ini seharusnya tidak boleh terjadi, karena semua kebutuhan atau permintaan keramik nasional baik dari sisi volume kebutuhan dan jenis keramik semua bisa terpenuhi oleh industri keramik nasional,” tutur Edy.
Selain itu, lanjut Edy, pemerintah harus lebih memperhatikan industri keramik nasional yang telah memberikan multiplier effect yang besar dengan produk bersertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) rata-rata diatas 80% dan terbukti telah mendukung keberlangsungan hidup ribuan perusahaan kecil dan menengah yang selama ini menjadi bagian supply chain dari industri keramik.
Oleh karena itu, Asaki mendesak Kementerian Perdagangan melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk segera mengeluarkan hasil akhir penyelidikan antidumping terhadap produk keramik impor asal Tiongkok.
“Kami (Asaki) meminta KADI untuk jangan takut dan ragu dalam melakukan penyelidikan secara komprehensif dan segera mengeluarkan hasil akhir penyelidikan antidumping terhadap produk keramik Tiongkok dalam waktu dekat dengan BMAD yang tinggi yakni 200% dan berlaku untuk semua produsen atau eksportir,” tutup Edy.