Jurnalindustry.com – Jakarta – Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) menyampaikan apresiasi kepada Kementerian Perdagangan atas langkah progresif dalam merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 terkait pengendalian impor barang, khususnya pada sektor pakaian jadi dan tekstil.
Revisi tersebut kembali memberlakukan syarat Pertimbangan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk proses impor pakaian jadi. IPKB menilai langkah ini sebagai komitmen nyata pemerintah dalam melindungi industri konveksi nasional, menciptakan iklim usaha yang lebih adil, serta menjaga keberlangsungan UMKM di sektor sandang. Walaupun aturan ini sempat tertunda beberapa bulan, namun kebutuhan industri sandang masih diperhatikan.
Ketua Umum IPKB, Nandi Herdiaman menyampaikan dalam keterangannya bahwa pertek ini merupakan angin segar bagi industri pakaian jadi dalam negeri. Namun demikian pemerintah juga harus serius dalam pelaksanaannya.
“Revisi ini merupakan angin segar bagi para pelaku konveksi lokal yang selama ini tertekan oleh derasnya impor pakaian jadi tanpa kendali teknis. Tapi pemerintah juga harus serius dalam pelaksanaannya, supaya jumlah impor dapat dikendalikan” ujar Nandi melalui keterangan resminya (30/6).
Senada dengan itu, Agus Riyanto Direktur Eksekutif KAHMI Tekstil juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah dan mengatakan bahwa pemberlakuan pertek pada revisi Permendag 8/2024 akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan pakaian jadi nasional.
“Kami mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberlakukan pertek pada impor komoditi pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi. Sejak pertek dihapuskan pada Permendag 8/2024, industri garmen kita tidak mendapatkan persaingan dagang yang sehat akibat lonjakan produk impor” terang Agus.
Lebih lanjut Agus menyinggung tentang kerja sama bilateral Indonesia-Amerika Serikat dalam negosiasi tarif resiprokal. Ia mengatakan bahwa revisi Permendag 8/2024 merupakan langkah tepat pemerintah untuk membuat industri lebih berdaya saing. Pertek menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan kuota impor, sehingga harus transparan sesuai kesepakatan.
“Pada periode April kemarin kan sudah ada lima kesepakatan strategis dari negosiasi tarif resiprokal dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, isinya antara lain memperkuat transparansi dan proteksi pasar dari banjir impor. Pemerintah harus serius dalam hal ini mengingat AS ialah tujuan ekspor terbesar untuk produk garmen kita” tegas Agus.
Terakhir Agus menjelaskan bahwa semasa pemberlakuan Permendag 8/2024, industri garmen Indonesia mengalami penurunan jumlah pesanan yang signifikan, lonjakan persaingan harga, dan tergerusnya pasar domestik akibat membanjirnya produk impor murah.
Bahkan, kata Agus, dalam kondisi tarif resiprokal AS belum diberlakukan saat ini saja ada satu perusahaan garmen nasional yang beroperasi di Tangerang mengalami kerugian 7,2 triliun pada tahun 2024 lalu. Sehingga pemerintah harus betul-betul serius dalam pelaksanaan Pertek dan transparan dalam perizinan dan penentuan kuota impor.
“Pertek ini harus jelas dan dikendalikan. Jangan sampai perusahaan garmen yang ada di Tangerang ini menjadi Sritex Jilid 2 karena tumpukan hutang akibat tekanan penjualan dalam negeri,” tutup Agus.