Jurnalindustry.com – Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menolak pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintesis tertentu dari Tiongkok.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menyebut bahwa kepurusan tersebut dinilai sudah tepat, karena mempertimbangkan kondisi rill industri tekstil nasional, khususnya sektor hilir dan menengah.
Menurutnya, saat ini banyak pelaku industri tekstil di dalam negeri yang masih bergantung terhadap bahan baku impor. Oleh karena itu, penolakan BMAD dinilai sebagai langkah yang realistis untuk menjaga keberlanjutan produksi di sektor hilir.
“Jadi kalau menurut kami, BMAD yang diputuskan oleh Kemendag, ya sudah sangat tepat,” kata Febri di Jakarta (25/6).
Ditambahkan Febri, pembangunan ekosistem rantai pasok industri tekstil nasional tidak bisa dilakukan secara instan hanya dengan mendorong berdirinya pabrik-pabrik di hulu. Perhatian terhadap ketersediaan bahan baku bagi sektor hilir yang saat ini masih mengandalkan impor juga tetap perlu diutamakan.
“Di industri hulir sebagian besar sudah bisa dipasok oleh industri hulu dalam negeri, ya, mungkin barangkali perlu kami pertimbangkan penerapan BMAD yang pas,” terangnya.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) bersuara keras terkait keputusan Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso yang menolak rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi menyebut bahwa keputusan Mendag Budi Santoso menolak rekomendasi KADI tersebut berpotensi menghambat investasi di sektor hulu.
“Sejumlah perusahaan terancam batal melakukan investasi akibat penolakan tanpa dasar atas rekomendasi KADI,” kata Farhan.
Bahkan, dirinya menantang Mendag Budi Santoso untuk membuka data hasil pertimbangan ditolaknya rekomendasi KADI. Menurutnya, berdasarkan data yang dihimpun dari BPS, kenaikan impor secara volume naik selam 6 tahun terakhir hingga 200%.
Selain itu, rekomendasi KADI juga dapat membuktikan adanya praktik dumping yang dilakukan lebih dari 38 perusahaan dri China yang marjin dumpingnya bervariatif mulai dari 42% – 50%.
Farhan juga meminta pemerintah buka data pemberian kuota impor benang filamen polyester ini ke publik. Dirinya pun siap melakukan negosiasi untuk menghentikan produksinya jika kuota impor tersebut melebihi kapasitas industri dalam negeri.